Jakarta, OLE - Di tengah transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo ke Prabowo Subianto, satu demi satu figur loyalis Jokowi mulai terseret kasus hukum. Namun, pola penanganan yang timpang menimbulkan pertanyaan: apakah ini murni penegakan hukum atau seleksi politik?
Immanuel Ebenezer alias Noel, eks Ketua Jokowi Mania dan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan terkait dugaan pemerasan perusahaan dalam pengurusan sertifikasi K3. OTT ini terjadi hanya beberapa bulan setelah Noel kehilangan jabatan strategisnya, menandai pergeseran posisi tawar politik.
Di sisi lain, Silfester Matutina, Ketua Solidaritas Merah Putih, masih belum dieksekusi meski vonis 1,5 tahun penjara atas pencemaran nama baik Jusuf Kalla telah inkrah sejak 2019. Ia kini mengajukan Peninjauan Kembali, namun publik bertanya: kenapa eksekusi tertunda selama enam tahun?
Yang paling mencolok adalah absennya proses hukum terhadap Budi Arie Setiadi, mantan Menkominfo dan kini Menteri Koperasi. Dalam kasus korupsi BTS Kominfo, nama Budi Arie disebut dalam berbagai pengakuan dan dokumen, termasuk dalam laporan investigatif media dan pernyataan terdakwa.
Namun hingga kini, belum ada penyelidikan resmi terhadapnya. Padahal, menurut pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Dr. R. Herlambang, “Pengakuan terdakwa dan bukti digital yang beredar sudah cukup untuk membuka penyelidikan awal. Diamnya penegak hukum bisa ditafsirkan sebagai bentuk impunitas politik.”
Kejaksaan Agung berdalih bahwa eksekusi terhadap Silfester sempat tertunda karena pandemi dan alasan administratif. Namun mantan penyidik KPK, Novel Baswedan, menyebut bahwa “Penundaan eksekusi terhadap tokoh-tokoh politik bukan hal baru. Yang jadi masalah adalah konsistensi. Kalau Noel bisa ditangkap, kenapa Silfester dan Budi Arie belum disentuh?” Ia menambahkan bahwa penegakan hukum yang selektif justru memperlemah kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
Di balik rontoknya para loyalis Jokowi, tersisa pertanyaan besar: apakah ini awal dari era penegakan hukum yang berani, atau sekadar pembersihan politik menjelang konsolidasi kekuasaan baru? Jika penegakan hukum hanya menyasar mereka yang sudah kehilangan pengaruh, maka kita sedang menyaksikan bukan keadilan, melainkan kalkulasi. Dan dalam kalkulasi itu, nama-nama seperti Budi Arie tetap aman—setidaknya untuk sementara.