Floating Image
Floating Image
Sabtu, 6 Desember 2025

Retorika Prabowo: Realitas Brutal Menuju Ketimpangan Sosial


Oleh Sigit Nugroho
17 Agustus 2025
tentang Nasional
Retorika Prabowo: Realitas Brutal Menuju Ketimpangan Sosial - Ole

Tikus-tikus tengah mengeroyok Garuda, kiasan nasib NKRI.

321 views
Retorika Prabowo: Realitas Brutal Menuju Ketimpangan Sosial - Ole

Presiden Prabowo Subianto naik ke panggung politik dengan retorika yang menggugah: makan bergizi gratis, sekolah rakyat, kuliah PTN gratis, transportasi kota gratis, stop impor beras, gula, daging dan lain sebagainya, plus janji pertumbuhan ekonomi 8 persen. 

Dalam kampanye akbarnya di Gelora Bung Karno, ia menyebut bahwa siapa pun yang menolak memberi makan anak-anak Indonesia adalah “tidak waras dan tidak cinta Tanah Air”. Namun, setelah hampir setahun menjabat, retorika tersebut mulai tampak seperti kemasan manis untuk kebijakan yang justru memperdalam ketimpangan fiskal dan sosial.

Alih-alih uang negara untuk menumbuhkan pemerataan, Prabowo justru memangkas anggaran daerah hingga Rp300 triliun. Padahal, 60-87% APBD di banyak kabupaten bergantung pada dana pusat. Proyek infrastruktur desa, perumahan rakyat, dan layanan publik, kacau balau. 

Bupati dan Walikota yang kelabakan, memakai cara mudah: naikkan pajak sebrutalnya. Efeknya? Bupati Pati yang juga kader Gerindra (partai pimpinan Prabowo), diserbu masa akibat menaikkan pajak 250%. Pati rusuh dan lumpuh. Di tempat lain, sama. Bupati Mojokerto yang juga kader Gerindra, lebih gila lagi: pajak meroket 1000%! Ia berkilah hanya mendukung “perjuangan” Bupati sebelumnya.

Di sisi lain, lembaga pengepul seluruh keuntungan BUMN bernama “Danantara”, menargetkan investasi pada 9 sektor strategis nasional: Mineral & Pertambangan, Energi Baru & Terbarukan, Digital Infrastruktur & AI, Kesehatan, Layanan Keuangan & Pasar Modal, Hilirisasi Industri, Zona Industri & Kawasan Ekonomi Khusus, Ketahanan Pangan & Agrikultur, serta Maritim & Pertahanan. Siapa yang kelak masuk jajaran atas pemetik keuntungan? Sudah paham semua.

Mengorbankan Daerah

Sementara itu, dana jumbo APBN dialihkan Prabowo ke program populis seperti makan gratis (Rp240 triliun) dan koperasi merah-putih (Rp400 triliun), serta lonjakan anggaran pertahanan dari Rp166 triliun ke Rp245 triliun. Ini bukan efisiensi, melainkan pemusatan kekuasaan fiskal yang mengorbankan otonomi daerah.

Di tengah pemangkasan anggaran publik, elite politik dan pejabat BUMN justru menikmati gaji dan bonus yang mencengangkan. Gaji Komisaris Utama di Pertamina bisa menerima Rp134 miliar setahun, mengalahkan gaji tahunan Donald Trump Presiden AS, yang cuma Rp6 miliar setahun. 

Di PLN, satu komisaris bisa mengantongi Rp9,8 miliar per tahun. Bahkan komisaris di Bank BCA rata-rata menerima Rp34,6 miliar setahun. Ironisnya, banyak dari mereka hanya menghadiri rapat bulanan dan tidak terlibat langsung dalam operasional. 

Prabowo sempat menegur uang tantiem (bonus tahunan) Rp40 miliar setahun, yang diberikan kepada direksi dan komisaris perusahaan, termasuk BUMN. Aromanya, manipulatif dan angkanya tak masuk akal untuk situasi Indonesia terkini.  

Tak kalah mencolok, anggota DPR RI kini menerima take-home pay lebih dari Rp100 juta per bulan (setara Rp3 juta per hari). Bandingkan dengan buruh informal atau pedagang kecil yang berjuang dengan pendapatan Rp3 juta sebulan. Artinya, sehari kerja wakil rakyat setara dengan sebulan kerja rakyat marginal. Itu belum termasuk dana reses Rp450 juta 5 kali setahun, fasilitas rumah jabatan, dan pensiun seumur hidup.

Retorika Prabowo tentang “Indonesia Incorporated” dan “berdiri di atas kaki sendiri” tampak kontras dengan realitas ketergantungan fiskal rakyat terhadap pajak dan iuran. Pajak PBB, PPn, dan PPh terus naik.

Di saat yang sama kekayaan alam dan sektor strategis belum dioptimalkan sebagai sumber pendapatan negara. Ada pemanfaatan, tapi cenderung ke kroni pejabat – dan ada di lingkar kekuasaan, sejak era Joko Widodo hingga Prabowo. Ketimpangan ini bukan sekadar angka, tapi cerminan dari arah politik yang lebih melayani elite daripada rakyat.

Pemimpin Revolusioner

Editorial ini bukan sekadar kritik, tapi panggilan untuk transparansi dan keberpihakan. Jika Prabowo ingin dikenang sebagai pemimpin revolusioner, ia harus berani memangkas privilese elite, memperkuat fiskal daerah, dan menjadikan janji kampanye sebagai kebijakan nyata. 

Tanpa itu, pidato manis hanya akan menjadi arsip retorika, sementara rakyat terus menanggung beban negara yang dikuasai segelintir pejabat dan pengusaha. “Pesta uang” APBN pejabat di tengah jerat pajak dan denda untuk rakyat, bisa dibaca sebagai putusnya hubungan rakyat dengan pemerintah. Mereka masih patuh (sementara dan terpaksa), tapi tak ada lagi cinta. 

Salah 1 sikap raja tega Prabowo terbesar adalah saat ia terus memuji Jokowi, di saat mayoritas masyarakat membenci. Ini tak lepas dari berbagai atribut negatif yang menempel di sosok Jokowi: pembohong, suka ingkar janji, mengakali konstitusi, menyandera kawan maupun lawan politik, hingga kriminalisasi siapapun yang tak ia suka. 

Sosok inilah yang diteriakkan Prabowo dengan yel-yel “Hidup Jokowi”. Entah apakah Prabowo lupa pernah dikerjai di Pilpres 2014 dan 2019 oleh orang yang sama lewat instrumen KPU (bukti beredar luas di media sosial). Entah karena sadar tak mampu melawan instrumen jahat di ketiak Raja Jawa?

Negara Hukum

Yang pasti, Prabowo setuju pada falsafah Jawa: mikul dhuwur mendhem jero (menutup rapat-rapat aib atau kesalahan masa lalu, sebagai bentuk penghormatan). Dalam konteks administratif, hukum, apalagi agama, falsafah itu tidak dibenarkan. 

Hukum adalah panglima di Indonesia, mestinya. Tapi faktanya kita mengelus dada. Banyak pejabat tergaruk kasus korupsi, sementara aparat yang mengejarnya terlalu “selektif”. Dalam lindungan tuan besar, atau bukan? Tak perlu mengejar koruptor sampai ke Antartika, Silfester Matutina yang inkrah dipenjara 1,5 tahun saja, malah diangkat jadi komisaris! Dia tak kemana-mana, ada di depan hidung penguasa, dan dalam lindungan Raja Jawa.

Kurang merdeka apa Indonesia? Toh kebahagiaan tercermin dalam framen joget-joget pejabat di gedung dewan atau istana negara, juga yang paling gres di acara perayaan 17 Agustusan. Abaikan protes penggemar serial Upin-Ipin karena jam tayangnya di stasiun TV, diserobot adegan kenegaraan yang bikin mual. 

Mari berdoa dan berusaha tanpa berputus harapan pada pertolongan-Nya. Semoga Allah membukakan hati Presiden, menyadarkan agar berhenti mengumbar retorika. Lalu, menguatkannya agar berani membersihkan tikus-tikus yang menggerogoti kapal besar bernama Indonesia, berlambang Garuda.

Apapun, dibanding harus meneriakkan yel-yel nama pemilik ijazah palsu, mending pilih teriak: Merdeka! Tetap bersyukur, juga yakin, kelak Indonesia bakal adil dan makmur. Aamiin. 

Retorika Prabowo: Realitas Brutal Menuju Ketimpangan Sosial - Ole

Sigit Nugroho
Penulis

Sigit Nugroho

Berita Lainnya dari Nasional

  • Oleh: axie
  • 25 Juli 2025
Laga Amal Untuk Kosasih
  • Oleh: axie
  • 02 Juni 2025
Selamat jalan Tan Joe Hok