Floating Image
Floating Image
Sabtu, 6 Desember 2025

Peringatan 17 Agustus di Era Prabowo: Pidato Manis, Sorotan Kritis


Oleh Restu Nugraha
17 Agustus 2025
tentang INDONESIA TODAY
Peringatan 17 Agustus di Era Prabowo: Pidato Manis, Sorotan Kritis - Ole

Prabowo dalam upacara 17 Agustus 2025 di Istana Negara, pidato manis.

387 views

Jakarta, OLE - Presiden Prabowo Subianto memimpin langsung upacara peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (17/8/1945). Dalam pidato kenegaraannya yang disampaikan 2 hari sebelumnya di Sidang Tahunan MPR RI, Prabowo menekankan pentingnya kemandirian ekonomi, penghormatan terhadap presiden-presiden terdahulu, dan keberlanjutan program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis dan Sekolah Rakyat. 

Ia menyebut kemerdekaan sebagai perjuangan untuk “merdeka dari kemiskinan dan kelaparan,” serta menyerukan semangat “Indonesia Incorporated” sebagai visi pembangunan nasional. Rangkaian acara 17 Agustus dimulai dengan renungan suci di TMP Kalibata, dilanjutkan kirab bendera dari Monas ke Istana menggunakan kereta kencana, dan ditutup dengan pesta rakyat serta karnaval malam hari. 

Prabowo tampil dengan setelan jas hitam dan peci, didampingi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Pidatonya di Istana menegaskan bahwa “Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri,” sembari memuji capaian ekonomi dan diplomasi pemerintahannya selama 299 hari menjabat.

Ketimpangan Narasi dengan Realitas

Namun, di balik pidato manis dan simbolisme nasionalisme, sejumlah pengamat menyoroti ketimpangan antara narasi dan realitas. Ekonom dan aktivis kebijakan fiskal mengkritik bahwa RAPBN 2026 masih terlalu bertumpu pada pajak rakyat (seperti PBB, PPn, dan PPh), alih-alih mengoptimalkan sumber daya alam sebagai basis pendapatan negara. 

Mereka menilai bahwa pidato Prabowo belum menyentuh akar persoalan ketimpangan struktural, terutama soal serakahnomics dan kebocoran kekayaan nasional yang disebut sebagai “net outflow.”

Pengamat politik dari UGM, Dr. R. Suryadi, menyebut pidato Prabowo terlalu retrospektif dan normatif. Alih-alih menyampaikan arah baru, Prabowo lebih banyak memuji presiden sebelumnya dan mengulang janji-janji kampanye. “Kita butuh kepemimpinan yang berani menyentuh isu sensitif seperti oligarki, bukan sekadar nostalgia sejarah,” ujarnya. 

Kritik juga datang dari kelompok masyarakat sipil yang menilai bahwa program seperti Sekolah Rakyat dan MBG belum menyentuh akar kemiskinan struktural di daerah. Meski demikian, seperti lazimnya sikap tamu, Prabowo tetap mendapat sambutan hangat dari peserta upacara yang hadir di Monas. 

Pesta rakyat yang melibatkan pedagang kaki lima dan UMKM menjadi simbol inklusivitas, meski belum cukup untuk meredam sorotan kritis terhadap arah kebijakan pemerintah. Peringatan 17 Agustus tahun ini menjadi panggung kontras antara harapan dan kenyataan, antara pidato kenegaraan dan suara rakyat yang masih menunggu bukti nyata.

 

Restu Nugraha
Penulis

Restu Nugraha

Berita Lainnya dari INDONESIA TODAY