Jakarta, OLE - Di tengah riuhnya industri musik Indonesia, sebuah pertanyaan mendasar menggema: untuk siapa royalti musik sebenarnya dipungut? Kala Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Wahana Musik Indonesia (WAMI) bersitegang soal distribusi dan transparansi, sejumlah musisi justru keluar dari barisan.
Mereka tak semata menuntut hak pribadi, melainkan untuk membela publik yang terhimpit. Sejak LMKN mulai menarik royalti dari pelaku usaha seperti hotel, restoran, dan bahkan acara pernikahan, banyak UMKM merasa terintimidasi.
Tanpa edukasi memadai, mereka menerima surat tagihan yang dianggap sepihak. Di sisi lain, musisi yang lagunya diputar justru menerima nominal royalti yang tak sebanding dengan ekspektasi.
Ari Lasso, penyanyi senior yang lagunya diputar jutaan kali di ruang publik, hanya menerima Rp 765 ribu. “Saya malu. Kalau begini caranya, lebih baik lagu saya diputar gratis saja,” katanya.
Musisi Pro Rakyat
Beberapa musisi memilih sikap yang tak biasa: mereka menolak royalti demi membela pelaku usaha kecil dan publik yang bingung dengan sistem yang ada.
Vokalis Ari Lasso mengumumkan secara terbuka bahwa lagu-lagunya boleh diputar tanpa membayar royalti. “Saya tidak ingin rakyat takut memutar musik,” ujarnya.
Charly van Houten (Setia Band, eks ST12) malah siap memberi uang atau cindera mata jika ada musisi jalanan yang menyanyikan lagunya, saat ia ada di lokasi yang sama. “Jangankan minta royalti, saya malah kasih duit atau cindera mata,” ujar musisi yang awalnya seorang pengamen jalanan itu.
Tompi malah mundur dari WAMI dan menyebut sistem royalti sebagai “tidak masuk akal”. Ia menolak menjadi bagian dari sistem yang membebani rakyat.
Lebih keras, Ahmad Dhani menyebut LMKN sebagai “lembaga yang dikuasai label”, dan menyarankan agar musisi menggugat sistem secara hukum.
Mereka bukan hanya bicara soal nominal, tapi soal keadilan. “Musik adalah ruang publik. Kalau sistemnya membuat rakyat takut, itu bukan sistem yang sehat,” imbuh Tompi.
Pelaku usaha kecil, seperti pemilik kafe dan wedding organizer, mengaku bingung dan takut. “Kami dapat surat dari LMKN, tapi tidak tahu lagu mana yang diputar, siapa pemiliknya, dan berapa yang harus dibayar,” ujar seorang pengusaha di Pamulang.
Beberapa bahkan memilih mematikan musik di tempat usaha mereka. “Daripada kena denda, lebih baik tidak ada musik,” kata seorang pemilik restoran.
Opsi Jalan Tengah
Di tengah kekacauan ini, muncul seruan untuk reformasi. Rocker gaek Ikang Fawzi menawarkan jalan tengah dengan mendorong digitalisasi dan transparansi, serta menyarankan agar musisi ikut mengawasi distribusi royalti.
Digitalisasi sistem royalti memudahkan kontrol pemakaian lagu, bisa dilacak secara akurat dan transparan.
Edukasi publik dan UMKM juga perlu agar mereka tahu hak dan kewajiban secara adil. Selain itu, revisi regulasi juha mutlak. Beberapa musisi dan kelompok seperti VISI mengajukan uji materi UU Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi.
Kisruh LMKN–WAMI bukan sekadar soal uang. Ini tentang bagaimana musik diposisikan dalam kehidupan sosial. Ketika musisi memilih berpihak pada rakyat, mereka mengembalikan musik ke tempat asalnya: sebagai suara publik, bukan sekadar komoditas.
“Kalau musik membuat rakyat takut, itu bukan seni. Itu bisnis yang kehilangan jiwa,” kata Ikang Fawzi.
Tajam ke Bawah
Sementara itu musisi kondang Ahmad Dhani ikut melancarkan kritik buat WAMI, lembaga yang ngurusin hak cipta musik dari para anggotanya.
"Kenapa WAMI tajam ke cafe, resto, hotel? Tapi tumpul ke penyanyi/band kaya raya? Yang menolak fee komposer, yang menolak izin ke komposer," tulis Ahmad Dhani di akun @ahmadhdaniofficial, Rabu (13/8/2025).
Selain nyorot soal kafe dan resto, Ahmad Dhani juga angkat suara soal aturan royalti buat orang yang nyanyi di acara pernikahan atau hajatan. "Ini siapa sih yang bikin sistem kok ancur banget?" tanya Dhani.
Sikap Pemerintah
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengakui adanya kelalaian kementeriannya dalam mengawasi tata kelola lembaga pengelola royalti hak cipta.
“Saya minta maaf kepada publik sekaligus berjanji tidak akan teken aturan baru terkait besaran maupun jenis tarif royalti sebelum semuanya diuji secara transparan dan melibatkan semua pihak,” katanya di Jakarta, Rabu (13/8).
“Jangan membebani UMKM, ciptakan sistem yang lebih rasional. Juga jangan jadikan ini perkara pidana secara gegabah. LMK perlu berdialog dengan asosiasi hotel, pusat perbelanjaan, dan restoran untuk menyepakati aturan yang adil.”