Jakarta, OLE - Kepercayaan publik pada aparat penegak hukum kian luntur. Dari banyak kasus, terkini adalah ketidak-beranian Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan untuk mengeksekusi Silfester Matutina. Vonis Mahkamah Agung pada Silfester dalam kasus fitnah terhadap Wapres Jusuf Kalla itu, telah berkekuatan hukum tetap sejak 2019.
Silfester dikenal sebagai Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), pendukung Presiden RI ke-7, Joko Widodo (Jokowi). Di saat tekanan pada Kejari Jaksel yang dituduh tak punya nyali untuk mengeksekusi karena faktor Raja Jawa kian kuat, mereka malah menghormati proses PK yang diajukan Silfester. PK itu akan disidang pada 20 Agustus besok.
Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARRUKI) terlanjur melakukan gugatan praperadilan terhadap Kejari Jaksel. Entah kebetulan atau tidak, kini ada kemajuan. Komisioner Komisi Kejaksaan (Komjak), Nurokhman, merilis kabar, Kejari Jakarta Selatan telah menunjuk jaksa eksekutor guna mengeksekusi Silfester atas vonis 1,5 tahun penjara.
“Saya sudah mendatangi kantor Kejari Jakarta Selatan hari ini. Sudah, sudah, itu sudah. Tanggal eksekusinya, sejauh ini on progres. Kita mendorong, ini kan masih dalam proses eksekusi," ujar Nurokhman, sambil menunjuk jaksa eksekutor di Jakarta, Kamis (14/8/2025).
Silfester sebelumnya mengklaim telah menemui JK, meski tak dimuat media. “Saya telah bertemu Pak JK, dan sudah saling memaafkan. Toh itu tidak disengaja, dan pada intinya sudah clear,” tutur Silfester, yang ternyata bohong.
Soalnya, JK sendiri yang mengkonfirmasi kebohongan itu. “Saya tidak pernah bertemu dia dan berdamai. Juga tak ada ketemu dengan staf atau keluarga saya. Keluarga saya sangat terganggu. Jalankan dan hormati proses hukum sesuai ketentuan,” komnetar JK.
Setelah redaksi OLE melacak jejak Kepala Kejaksaan Negeri Jaksel, nyatanya sudah 5 orang bergantian memimpin. Tak satu pun berani melakukan eksekusi. Jika saat ini eksekusi akan dilakukan, itu lebih karena tekanan publik. Malah, bisa jadi Silfester bebas ketika “tangan-tangan setan” di balik layar ikut jadi dalang.
Pada 2025, tekanan publik kian kuat setelah Silfester bukannya dipenjara, tapi justru diberi jabatan Komisaris Independen di badan usaha pangan ID Food oleh Menteri BUMN, Erick Thohir. Tanggung jawab Erick sebagai Menteri BUMN dalam pengangkatan Silfester Matutina sebagai komisaris, sangat krusial dan kini menjadi sorotan hukum dan publik.
Erick Bisa Terancam
Eks Wakapolri, Komjen (Purn) Oegroseno, menyebut Erick Thohir berpotensi atau terancam menjadi tersangka korupsi. Ia telah “memperkaya orang lain” dengan mengangkat terpidana ke jabatan strategis di BUMN. Ia melanggar Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jika terbukti ada unsur penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi atau kelompok.
“Ia juga melanggar Tata Kelola BUMN. Menurut Pasal 28 Ayat 1 UU BUMN, komisaris harus memiliki integritas dan dedikasi. Status Silfester sebagai terpidana jelas bertentangan dengan syarat tersebut,” kata Oegroseno. “Selain itu, juga cacat hukum dan menyalahi prinsip meritokrasi,” imbuh Dosen Hukum Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto.
Pengangkatan Silfester, yang dikenal sebagai loyalis Jokowi dan pendukung Prabowo-Gibran, memunculkan dugaan politisasi jabatan publik. Ini menabrak etika publik dan memperkuat persepsi bahwa jabatan strategis bisa diberikan sebagai “imbalan politik”.
Erick Thohir sebagai figur publik dan pejabat negara wajib menjelaskan dasar pengangkatan tersebut secara transparan kepada publik. Jika perlu, DPR bisa memanggil Erick untuk meminta penjelasan, sekaligus pertanggung-jawaban.