Floating Image
Floating Image
Sabtu, 6 Desember 2025

Aneh! Eksekusi Silfester Tunggu PK 20 Agustus, Kejaksaan Tak Transparan


Oleh Margo Suko
18 Agustus 2025
tentang Nasional
Aneh! Eksekusi Silfester Tunggu PK 20 Agustus, Kejaksaan Tak Transparan - Ole

Silfester dan Jokowi, diduga mendapat perlakuan istimewa dari aparat hukum.

465 views

Jakarta, OLE - Polemik eksekusi Silfester Matutina (pendukung Jokowi, dan akhirnya Prabowo juga), kembali mencuat setelah Kejaksaan Agung belum juga menahan narapidana kasus fitnah terhadap Jusuf Kalla, meski vonis Mahkamah Agung telah berkekuatan hukum tetap sejak 2019. 
 
Silfester, yang kini menjabat sebagai Komisaris Independen di BUMN pangan ID Food, justru mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada awal Agustus 2025. Langkah ini memicu kritik luas, terutama karena statusnya sebagai terpidana belum pernah dijalankan secara hukum.
 
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang dituduh tak transparan, berdalih bahwa eksekusi tertunda karena Silfester sempat “menghilang” dan pandemi Covid-19 menghambat proses penahanan. Namun, alasan ini dinilai tidak masuk akal oleh sejumlah tokoh hukum. 
 
“PK tidak menunda eksekusi. Tangkap dulu, jangan dipanggil,” tegas Mahfud MD, mantan Menko Polhukam, yang menyebut Kejaksaan gagal menjalankan prinsip keadilan. Ia juga menekankan bahwa vonis belum kedaluwarsa dan masih bisa dieksekusi hingga 2035.
 
Jusuf Kalla, sebagai korban dalam perkara tersebut, membantah telah berdamai dengan Silfester. “Saya tidak pernah bertemu atau berdamai. Keluarga saya sangat terganggu oleh fitnah itu,” ujar JK melalui kuasa hukumnya, Prof. Hamid Awaluddin. 
 
Pernyataan ini sekaligus membantah klaim Silfester bahwa perdamaian telah terjadi dan menjadi dasar pengajuan PK. JK menyatakan mendukung penuh agar Kejaksaan segera mengeksekusi vonis. Pengangkatan Silfester sebagai komisaris BUMN juga menuai sorotan. 
 
Pakar hukum menilai hal itu melanggar Undang-Undang BUMN yang mensyaratkan integritas dan dedikasi tinggi bagi pejabat komisaris. Status hukum Silfester yang belum dijalankan dinilai mencoreng kredibilitas institusi negara dan memperlihatkan lemahnya sistem pengawasan internal. Publik mempertanyakan bagaimana proses seleksi bisa meloloskan figur dengan rekam jejak pidana.
 
Sidang PK dijadwalkan berlangsung pada 20 Agustus mendatang, sementara gugatan praperadilan terhadap Kejari Jaksel telah diajukan oleh Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARRUKI). 
 
Kasus ini menjadi simbol krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum di Indonesia, di mana vonis pengadilan bisa diabaikan selama pelaku memiliki akses kekuasaan. Desakan agar Kejaksaan bertindak tegas terus bergema, menuntut keadilan yang tak tunduk pada politik.
 
Potensi Rakyat Marah
 
"Ada potensi nyata kemarahan ketika hukum terlihat berpihak pada penguasa, bukan pada kejujuran dan keadilan. Fenomena hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah telah lama menjadi sorotan publik, dan kasus Silfester Matutina hanya mempertegas ketimpangan itu.
 
"Jika vonis pengadilan bisa diabaikan oleh mereka yang punya akses kekuasaan, sementara rakyat kecil dihukum berat atas pelanggaran ringan, maka kepercayaan terhadap sistem hukum pun tergerus. Dalam jangka panjang, ini bisa memicu frustrasi sosial, sinisme politik, bahkan perlawanan sipil," ujar Zainal Arifin Mochtar, akademisi hukum tata negara dan aktivis antikorupsi dari UGM.
 
Ia dikenal lantang mengkritik pelemahan hukum, intervensi politik terhadap lembaga penegak hukum, dan budaya impunitas di kalangan elite. Zainal juga terlibat dalam film dokumenter Dirty Vote yang mengungkap dugaan kecurangan Pemilu 2024, dan aktif menyuarakan pentingnya supremasi hukum yang independen dan berpihak pada rakyat.

Margo Suko
Penulis

Margo Suko

Berita Lainnya dari Nasional

  • Oleh: axie
  • 25 Juli 2025
Laga Amal Untuk Kosasih
  • Oleh: axie
  • 02 Juni 2025
Selamat jalan Tan Joe Hok