Jakarta, OLE - Industri pariwisata Indonesia kini berada di persimpangan jalan akibat implementasi aturan royalti musik yang mewajibkan pembayaran atas pemutaran lagu di ruang publik. Hotel, bus pariwisata, restoran, dan berbagai tempat yang sebelumnya bebas memutar musik sebagai hiburan kini dihantui kekhawatiran biaya tambahan yang signifikan.
Jika aturan ini diterapkan tanpa solusi yang matang, dikhawatirkan akan berdampak negatif pada daya tarik wisata dan berpotensi menurunkan minat wisatawan untuk berkunjung. Keluhan mulai bermunculan dari para pelaku usaha. Adi S., seorang manajer hotel di Bandung, mengungkapkan kebingungannya.
"Selama ini musik kami gunakan untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi tamu. Kalau setiap lagu harus bayar royalti, biayanya bisa sangat besar, apalagi kalau lagu yang diputar banyak dan beragam. Ini bisa mempengaruhi harga kamar atau mengurangi fasilitas hiburan," ujarnya.
Sinta Pratiwi, pemilik perusahaan otobus pariwisata di Yogyakarta, juga mengeluh terkait pemutaran musik di dalam bus. "Musik menemani perjalanan wisatawan. Kalau setiap perjalanan kami harus menghitung dan membayar royalti setiap lagu, sangat merepotkan. Menambah beban operasional," tuturnya.
Belajar dari negara tetangga, Thailand dan Malaysia memiliki mekanisme royalti musik yang lebih terstruktur dan tidak memberatkan sektor pariwisata. Di Thailand, misalnya, sistem lisensi terpadu memungkinkan pelaku usaha membayar biaya tahunan yang relatif terjangkau untuk penggunaan musik di ruang publik.
Sementara di Malaysia, badan pengelola hak cipta menawarkan skema lisensi yang disesuaikan dengan skala usaha dan jenis penggunaan musik. Mengapa Indonesia belum memiliki sistem yang serupa dan lebih ramah bagi industri pariwisata?
Pakar ekonomi pariwisata, Dr. Ratna Wijayanti, menilai bahwa implementasi royalti musik tanpa sosialisasi dan solusi yang tepat, jadi kontraproduktif. "Tujuan utama pariwisata adalah memberikan pengalaman menyenangkan bagi wisatawan. Musik adalah salah satu elemennya. Jika biaya royalti memberatkan pelaku usaha, lalu mengurangi atau menyetop layanan hiburan, maka daya saing pariwisata kita bisa terancam," jelasnya.
Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya menyebut, “Perlu transparansi dan akuntabilitas. Pencipta lagu harus menerima royalti, pengusaha atau pengguna perlu kebijakan fair. Masih harus ditata ulang adalah tentang kolektifnya, LMK, dan LMKN-nya. Ini juga untuk menjaga agar pariwisata kita tetap kompetitif."
Ke depan, pemerintah diharapkan dapat mengambil langkah mediasi yang efektif antara pihak-pihak terkait. Sosialisasi mengenai mekanisme pembayaran royalti, penawaran skema lisensi yang terjangkau dan sesuai dengan skala usaha, serta studi banding dengan negara-negara yang telah berhasil mengelola isu ini, menjadi krusial. Jika tanpa solusi, potensi pendapatan dari sektor pariwisata yang tengah bangkit pasca pandemi, justru akan terancam.
LMK Juga Pernah Ngawur
Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas meminta agar Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) diaudit imbas sengkarut pembayaran royalti. “Saya minta LMKN-nya undang semua pelaku usaha. Tapi yang saya mau tegaskan, tidak boleh membebani UMKM terutama. Itu yang paling penting,” kata dia.
Yang tidak paham ternyata bukan cuma masyarakat atau pengusaha, lembaga-lembaga itu pun kadang main tabrak. Seperti kasus pengusaha yang menyetel suara jangkrik atau murotal Alquran, tetap ditagih royalti.
Suara hewan adalah suara alam, bukan ciptaan musik. Meskipun memiliki hak atas rekaman itu sebagai produser (hak terkait), rekaman tersebut tidak masuk dalam kategori yang diatur oleh LMKN untuk penarikan royalti karena tidak ada unsur komposisi musik (lagu) di dalamnya.
Begitu juga menyetel murotal Al-Qur'an, tidak bisa dikenakan royalti. Al-Qur'an itu firman Tuhan dan bukan "ciptaan" manusia dalam konteks hukum hak cipta. Meskipun pembaca Al-Qur'an (qari) dan produser rekaman memiliki hak terkait atas rekaman tersebut, secara praktik dan konsensus di Indonesia, murotal Al-Qur'an tidak tunduk pada sistem royalti komersial yang dikelola oleh LMKN dan LMK seperti WAMI atau SELMI.
Penggunaannya di tempat umum lebih dianggap sebagai bagian dari syiar agama, bukan untuk tujuan komersial musik seperti lagu pada umumnya. Jadi, fokus utama LMKN dan LMK adalah pada karya musik yang memiliki unsur komposisi, melodi, dan lirik yang diciptakan oleh manusia. Bukan ngawur semua ditabrak.