Jakarta, OLE - Jet tempur KF-21 Boramae, hasil kolaborasi Korea Selatan dan Indonesia, mulai mendapat sorotan internasional sejak uji terbang perdana pada Juli 2022. Contohnya, dari media pertahanan India. Pada awal Agustus 2025, KF-21 disebut sebagai platform generasi 4,5 yang kompetitif dari segi biaya dan potensi pertumbuhan.
Indian Defence Research Wing (IDRW) pekan lalu meliris laporan berisi pujian para pejabat dan analis militer India terkait keunggulan KF-21 sebagai jet tempur generasi 4,5. Dikatakan, KF-21 lebih kompetitif dari segi biaya, punya potensi peningkatan dan kompatibilitas dengan kebijakan industri pertahanan domestik India.
Pujian ini muncul di tengah evaluasi India terhadap berbagai platform untuk menggantikan armada lama mereka, termasuk kemungkinan menolak F-35 karena keterikatan ekosistem dan biaya tinggi. KF-21 dinilai memiliki roadmap pengembangan yang jelas dan mesin GE F414-nya sama dengan jet Tejas Mk2 buatan India. Ada peluang integrasi teknologi dan produksi bersama.
Meski India belum memasukkan KF-21 dalam daftar pendek pengadaan, mereka mengakui keunggulan desain dan fleksibilitasnya dibandingkan jet tempur generasi 5 seperti F-35, yang dinilai terlalu terikat pada ekosistem Amerika Serikat.
Simbol Kemandirian
Dalam pasar global, KF-21 bersaing dengan sejumlah jet tempur canggih seperti Dassault Rafale (Prancis), Eurofighter Typhoon (Eropa), F-16V dan F-35 Lightning II (AS), serta J-10C dan FC-31 (China). Dari sisi tampilan, KF-21 dari samping mirip FC-31 Gyrfalcon Stealth (China).
Dibandingkan dengan kompetitor tersebut, KF-21 menawarkan harga yang lebih terjangkau (sekitar US$65 juta per unit), dengan fitur siluman terbatas dan kemampuan avionik modern. Filipina, Peru, dan bahkan Polandia telah menyatakan minat terhadap pesawat ini sebagai alternatif dari dominasi Barat dan China dalam pasar alutsista.
Keunggulan KF-21 terletak pada kombinasi teknologi canggih dan arsitektur terbuka. Jet ini dilengkapi radar AESA buatan Hanwha Systems, sistem IRST, EO targeting pod, dan RF jammer yang memungkinkan pengoperasian dalam berbagai skenario tempur.
Selain itu, desain modular memungkinkan integrasi senjata dan perangkat lunak dari berbagai sumber, tanpa ketergantungan pada satu negara pemasok. Produksi massal dijadwalkan dimulai pada 2026, dengan target 120 unit untuk Angkatan Udara Korea Selatan hingga 2032.
KF-21 bukan sekadar proyek militer, melainkan simbol kemandirian teknologi Korea Selatan dan peluang strategis bagi Indonesia. Meski sempat terganjal tunggakan pembayaran, partisipasi Indonesia tetap penting dalam pengembangan dan potensi produksi lokal.
Di tengah dinamika geopolitik dan pasar senjata yang semakin kompleks, KF-21 menawarkan jalan tengah: jet tempur modern yang tidak terikat pada blok kekuatan besar, namun tetap mampu bersaing dalam hal performa dan fleksibilitas operasional.
Komitmen Investasi Indonesia
Investasi Indonesia dalam proyek jet tempur KF-21 Boramae memang sempat mengalami keterlambatan pembayaran yang cukup signifikan, dan hal ini memicu ketegangan dalam kerja sama dengan Korea Selatan. Berikut ringkasan detailnya:
Indonesia awalnya berkomitmen untuk membiayai 20% dari total anggaran proyek KF-21, yaitu sekitar $1,1 miliar (kemudian direvisi menjadi sekitar $1 miliar). Sebagai imbalan, Indonesia dijanjikan transfer teknologi, akses prototipe, dan hak produksi 48 unit jet tempur di dalam negeri.
Hingga Maret 2025, Indonesia baru membayar sekitar $274,4 juta, atau hanya 25% dari komitmen awal. Lantaran kesulitan keuangan, Indonesia meminta pengurangan kontribusi, yang kemudian disetujui Korea Selatan menjadi $411,5 juta.
Dalam skema baru, Indonesia membayar rata-rata $73,3 juta per tahun dari 2024 hingga 2026. Indonesia sempat menunggak selama hampir 4 tahun (2019–2023), dengan total tunggakan mencapai sekitar 800 miliar won.
Korea Selatan akhirnya menyetujui pengurangan kontribusi Indonesia, dengan sebagian besar kekurangan ditanggung oleh pemerintah Korsel dan Korea Aerospace Industries (KAI). Meski sempat ada kekhawatiran bahwa kerja sama akan dibatalkan, Korsel tetap melanjutkan proyek sambil menyesuaikan pembagian biaya.
Pada Februari 2023, Indonesia membayar tambahan 41,7 miliar won, dan berjanji akan menyampaikan rencana pelunasan sisa kontribusi pada akhir Juni. Dampak keterlambatan ini sempat dikuatirkan berdampak terhadap posisi Indonesia dalam proyek. Ada risiko digantikan oleh negara lain seperti isu beredar: Polandia.