Penunjukan kembali Hasto Kristiyanto sebagai Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, bukan sekadar keputusan organisasi. Ia adalah pernyataan politik. Awalnya ada dugaan bahwa itu hanya kompromi politik, demi memuaskan dirigen “kriminalisasi yang terlambat”.
Hasto bebas, tapi tak jadi Sekjen lagi. Dugaan itu nyaris tepat, saat di kongres partai, jabatan Sekjen dikosongkan. Prabowo yang sempat meneriakkan yel-yel "Hidup Jokowi" (dan itu menyakiti mayoritas rakyat), seperti menunjukkan kekuasaan (pada PDIP) dan solidaritas (pada Joko Widodo). Namun analisa itu berantakan saat Megawati Soekarnoputri mendudukan kembali Hasto di kursi lamanya. Dalam satu gerakan, Mega menegaskan bahwa partai banteng tetap miliknya, dan bahwa Jokowi, tak lagi menjadi penentu arah. Maklum, meski sudah dipecat PDIP, di tubuh partai itu masih ada segelintir kader berstatus Die Hard-nya Jokowi. Ada yang diam menekan hati, ada yang keluar dan "menyanyi". Salah satunya, Silfester Matutina, loyalis Jokowi yang mestinya dibui karena kasusnya inkrah, tapi Kejari Jakarta Selatan pura-pura sulit menemukan dia.
Hasto Sang Loyalis
Hasto, yang sempat terseret kasus hukum dan menjadi simbol resistensi terhadap kekuasaan Jokowi, kini kembali ke jantung partai. Ia tahu ritme partai, tahu arah Megawati, dan tahu kapan harus vokal atau kapan harus diam. Hasto memang bukan figur elektoral yang menjanjikan, tapi ia seorang loyalis tulen. Dalam spektrum politik PDIP, loyalitas kerap lebih berharga daripada popularitas.
Amnesti yang diberikan Presiden Prabowo Subianto kepada Hasto hanya beberapa hari sebelum kongres partai, mempertebal lapisan ironi. Prabowo, yang dalam Pilpres 2024 berhadapan dengan PDIP, kini justru menjadi fasilitator rekonsiliasi. Ia membuka pintu bagi Megawati, sekaligus menutup ruang bagi Jokowi.
Dalam gestur itu, terbaca ulang pengaturan aliansi: Prabowo dan PDIP, bukan lagi Prabowo dan Jokowi (dengan PSI-nya, yang ibarat buah mangga, ia masih pentil, meskipun karbit rupiah ditaburkan). Jokowi bahkan lebih diidentikkan dengan Golkar, dimana ketum dan eks ketumnya, begitu patuh pada Sang Raja Jawa. Petinggi Partai Beringin paham, Jokowi masih menguasai instrumen hukum hingga kini -- hingga turbulensi ijazah palsu pun tak cukup untuk merobohkan dia. Konfigurasi Koalisi Kisah Hasto bukan hanya gestur hukum, tapi juga gestur politik. Prabowo membuka pintu bagi PDIP, dan Megawati menyambutnya dengan tangan penuh kendali. Dalam konfigurasi baru ini, Prabowo dan PDIP berpotensi menjadi poros dominan. Koalisi besar yang dulu digagas Jokowi, kini berisiko terbelah. Pasca-kongres PDIP, konfigurasi konstitusi nasional mulai bergeser. Poros Prabowo–PDIP tampak semakin solid, terutama setelah sinyal dukungan dari Megawati terhadap stabilitas pemerintahan. Golkar dan PAN, yang selama ini sangat patuh pada Jokowi, mulai lebih merapat ke Prabowo. Sementara NasDem dan PKB, yang sempat menjadi bagian dari koalisi perubahan, kini berada di persimpangan. Jokowi, yang dulu menjadi simpul utama Koalisi Indonesia Maju (KIM), kini kehilangan pijakan. Ia tak lagi punya partai, dan pengaruhnya di PDIP mulai tergerus, nyaris tanpa sisa.
Jika poros Prabowo–PDIP benar-benar terbentuk, maka konfigurasi politik nasional akan mengalami reorientasi. Koalisi besar akan berubah, dari poros elektoral menjadi poros ideologi dan loyalitas. Dalam poros itu, Jokowi tidak lagi menjadi pusat gravitasi. Tata Ulang, Bukan Kompromi Jokowi, yang selama satu dekade menjadi patron elektoral PDIP, kini terpinggirkan. Ia tak lagi punya daya tawar di internal partai, juga tak lagi menjadi jembatan ke kekuasaan. Penunjukan Hasto adalah sinyal bahwa Megawati telah mengambil kembali kendali penuh. Mega tak sedang berkompromi, melainkan sedang menata ulang. Bagi PDIP, ini adalah konsolidasi. Bagi Jokowi, ini adalah redupnya pengaruh. Bagi publik? Ini adalah pengingat bahwa dalam politik, loyalitas dan kendali, sering kali lebih menentukan daripada elektabilitas dan citra. Dalam peta baru partai banteng moncong putih, Jokowi bukan lagi bayang-bayang yang mencengkeram kuat. Ia adalah bab yang telah lewat.